Sumedang :
Siang itu, Een Sukesih berbaring di ruangan berukuran 2x3 meter, yang dicat
warna hijau muda. Ambennya yakni balai-balai dari kayu bersisian dengan
televisi, lemari, rak berisi buku. Papan tulis, alat peraga pendidikan, plakat
dan piagam penghargaan memenuhi dinding. Di kamar sempit itulah ia tidur,
salat, melakukan segalanya. Juga lokasi pengabdian untuknya.
Semangat untuk mendidik anak bangsa tak lantas surut, meski Een lumpuh tak berdaya menghadapi penyakit radang sendi (rheumatoid arthritis) yang membatasi geraknya. Een membuka kamarnya untuk anak-anak yang ingin belajar. Semua dilakukannya tanpa pamrih.
"Pertama saya ingin berempati kepada sesama, saya terlahir dan dibesarkan dari keluarga yang sangat sederhana, makanya saya dapat merasakan betapa beratnya ingin sekolah, ingin les, tapi tidak punya uang," ujar Een saat ditemui Liputan6.com di kediamannya, RT 01 RW 06 Dusun Dusun Batukarut, Desa Cibeureum Wetan, Kecamatan Cimalaka, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, Selasa 4 Juni 2013.
Een ikhlas. Kalaupun ada imbalan buatnya, ia berharap itu datang dari Yang Maha Kuasa. "Saya hanya berharap ridho Allah SWT karena karakater saya dari kecil memang begini. Bukan saya nggak butuh uang, karena di dunia ini butuh uang. Saya mungkin sangat butuh dibanding yang sehat, tapi saya ikhlas karena hanya berharap ridho Allah SWT. Dan saya yakin Allah SWT akan mengganti dengan yang terbaik," ujarnya yakin.
Manusia memang tak bisa hidup tanpa materi. Yang penting, manusia harus seimbang menjalankan hak dan kewajibannya.
"Wajar kerja keras kita dapat imbalan, karena itu hak. Tapi kadang sekarang banyak hak tak diimbangi kewajiban. Hanya nuntut hak, kewajibannya diabaikan, saya nggak ingin seperti itu. Tentang materi Allah SWT yang mengatur, selama kita berusaha dan berdoa, insya Allah akan dibalas," ucap Een.
Perempuan berumur 50 tahun ini yakin sebesar apapun kebaikan yang dilakukan seseorang, itu akan kembali pada diri orang tersebut. "Karena Allah akan balas perbuatan baik meski sebiji jarah. Saya di kamar ini nggak bisa buat apa-apa. Datang ke dunia ini, saya nggak bisa membaca huruf, saya nggak punya apa-apa. Saya hanya mencoba memberikan kasih sayang kepada sesama, tidak lebih, dan ilmu yang saya dapat akan saya berikan."
"Sedekah tak hanya dengan harta tapi dengan ilmu, insya Allah apa yang kita miliki tidak akan berkurang," ujar Een.
Saat mendidik anak-anak, tak ketinggalan Een mengajarkan tentang kesederhanaan dan keyakinan spiritualitas. Dengan contoh-contoh sederhana. "Dulu sebelum ada whiteboard, anak-anak belajar menggunakan kapur. Terkadang, kita butuh kapur, terus saya bilang ke mereka untuk memunguti potongan kapur sisa di sekolahan, bukan mengambil yang utuh, itu mencuri," kenangnya.
"Kemudian Allah kasih jalan dengan whiteboard, tiba-tiba ada yang datang menawarkan whiteboard. Lalu saya bilang ke anak-anak, ternyata Allah tahu kesulitan umatnya, Allah mengatur semuanya. Ketika saya ingin komputer agar anak-anak pandai tidak ketinggalan dengan anak kota, beberapa ada yang kasih. Itu kan bukti Maha Agungnya Allah," ujar Een. (Ein/Sss)
Semangat untuk mendidik anak bangsa tak lantas surut, meski Een lumpuh tak berdaya menghadapi penyakit radang sendi (rheumatoid arthritis) yang membatasi geraknya. Een membuka kamarnya untuk anak-anak yang ingin belajar. Semua dilakukannya tanpa pamrih.
"Pertama saya ingin berempati kepada sesama, saya terlahir dan dibesarkan dari keluarga yang sangat sederhana, makanya saya dapat merasakan betapa beratnya ingin sekolah, ingin les, tapi tidak punya uang," ujar Een saat ditemui Liputan6.com di kediamannya, RT 01 RW 06 Dusun Dusun Batukarut, Desa Cibeureum Wetan, Kecamatan Cimalaka, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, Selasa 4 Juni 2013.
Een ikhlas. Kalaupun ada imbalan buatnya, ia berharap itu datang dari Yang Maha Kuasa. "Saya hanya berharap ridho Allah SWT karena karakater saya dari kecil memang begini. Bukan saya nggak butuh uang, karena di dunia ini butuh uang. Saya mungkin sangat butuh dibanding yang sehat, tapi saya ikhlas karena hanya berharap ridho Allah SWT. Dan saya yakin Allah SWT akan mengganti dengan yang terbaik," ujarnya yakin.
Manusia memang tak bisa hidup tanpa materi. Yang penting, manusia harus seimbang menjalankan hak dan kewajibannya.
"Wajar kerja keras kita dapat imbalan, karena itu hak. Tapi kadang sekarang banyak hak tak diimbangi kewajiban. Hanya nuntut hak, kewajibannya diabaikan, saya nggak ingin seperti itu. Tentang materi Allah SWT yang mengatur, selama kita berusaha dan berdoa, insya Allah akan dibalas," ucap Een.
Perempuan berumur 50 tahun ini yakin sebesar apapun kebaikan yang dilakukan seseorang, itu akan kembali pada diri orang tersebut. "Karena Allah akan balas perbuatan baik meski sebiji jarah. Saya di kamar ini nggak bisa buat apa-apa. Datang ke dunia ini, saya nggak bisa membaca huruf, saya nggak punya apa-apa. Saya hanya mencoba memberikan kasih sayang kepada sesama, tidak lebih, dan ilmu yang saya dapat akan saya berikan."
"Sedekah tak hanya dengan harta tapi dengan ilmu, insya Allah apa yang kita miliki tidak akan berkurang," ujar Een.
Saat mendidik anak-anak, tak ketinggalan Een mengajarkan tentang kesederhanaan dan keyakinan spiritualitas. Dengan contoh-contoh sederhana. "Dulu sebelum ada whiteboard, anak-anak belajar menggunakan kapur. Terkadang, kita butuh kapur, terus saya bilang ke mereka untuk memunguti potongan kapur sisa di sekolahan, bukan mengambil yang utuh, itu mencuri," kenangnya.
"Kemudian Allah kasih jalan dengan whiteboard, tiba-tiba ada yang datang menawarkan whiteboard. Lalu saya bilang ke anak-anak, ternyata Allah tahu kesulitan umatnya, Allah mengatur semuanya. Ketika saya ingin komputer agar anak-anak pandai tidak ketinggalan dengan anak kota, beberapa ada yang kasih. Itu kan bukti Maha Agungnya Allah," ujar Een. (Ein/Sss)
Karena semangat juangnya, Een Sukaesih berhasil meraih
special award dalam Liputan 6 Award 2013. Meski hanya bisa terbaring di atas
kasur karena penyakit rheumatoid arthritis
yang dideritanya, Een masih mampu berkontribusi bagi lingkungan.
Wanita yang akrab disapa Bu Een ini tetap semangat menjadi pengajar bagi para anak didiknya. Bu Een mengaku, semangatnya itu didapatkan setelah mendengar siaran sebuah stasiun radio Sumedang.
"Sore itu saya mendengar hadits, Dek," ujarnya kepada Liputan6.com ketika berada di Jakarta, Rabu 5 Juni 2013.
"Ketika itu kondisi saya sudah seperti sekarang. Jadi haditsnya seperti ini, 'Sebaik-baiknya manusia adalah orang yang bermanfaat bagi orang lain'," tuturnya.
Setelah mendengar hadits itu, Bu Een merasa tidak berguna. Dorongan kuat keluarga pun menjadi penyemangat baginya untuk terus hidup sebagai manusia yang bermanfaat bagi orang lain.
"Maka saya putuskan untuk memberikan pendidikan kepada anak-anak di kampung. Mudah-mudahan itu adalah suatu manfaat yang bisa saya berikan kepada orang lain," harap Bu Een.
Dalam dunia medis, rheumatoid arthritis yang diderita Bu Een merupakan golongan penyakit yang langka. Hingga saat ini belum ditemukan obatnya.
Wanita yang akrab disapa Bu Een ini tetap semangat menjadi pengajar bagi para anak didiknya. Bu Een mengaku, semangatnya itu didapatkan setelah mendengar siaran sebuah stasiun radio Sumedang.
"Sore itu saya mendengar hadits, Dek," ujarnya kepada Liputan6.com ketika berada di Jakarta, Rabu 5 Juni 2013.
"Ketika itu kondisi saya sudah seperti sekarang. Jadi haditsnya seperti ini, 'Sebaik-baiknya manusia adalah orang yang bermanfaat bagi orang lain'," tuturnya.
Setelah mendengar hadits itu, Bu Een merasa tidak berguna. Dorongan kuat keluarga pun menjadi penyemangat baginya untuk terus hidup sebagai manusia yang bermanfaat bagi orang lain.
"Maka saya putuskan untuk memberikan pendidikan kepada anak-anak di kampung. Mudah-mudahan itu adalah suatu manfaat yang bisa saya berikan kepada orang lain," harap Bu Een.
Dalam dunia medis, rheumatoid arthritis yang diderita Bu Een merupakan golongan penyakit yang langka. Hingga saat ini belum ditemukan obatnya.
Pidato atau kuliah umum di ruangan besar yang disesaki
banyak peserta sudah menjadi pemandangan biasa. Apalagi bila si pemberi ceramah
atau kuliah umum itu merupakan seorang tokoh, presiden, politisi, rektor, atau
orang besar lainnya.
Tapi kuliah umum di ruangan Balai Pertemuan Umum Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, Jawa Barat, Jumat (7/6/2013) petang ini benar-benar luar biasa. Akibat materi kuliah umum itu, cucuran air mata terus mengalir dari para peserta di ruangan berkapasitas 400 orang yang sudah penuh sesak itu.
Mengapa mereka menangis? Mereka baru saja menyaksikan kuliah umum dari salah satu alumninya, Een Sukaesih. Een, guru penderita rheumatoid arthritis yang sudah pernah divonis mati, lebih dari memberikan materi kuliah umum.
Wanita alumni jurusan Psikologi Pendidikan dan Guru ini juga memberikan motivasi, inspirasi bagi mereka yang sehat dan masih bugar. Een yang hidup dalam keterbatasan itu dengan tanpa teks memberikan materi kuliah umum di hadapan rektor, guru besar, mahasiswa, dan para alumni.
Een tidak bisa berdiri tegak untuk memberikan kuliah umum. Dengan keterbatasannya itu, Een hanya mampu berbaring dan tak mampu bergerak. Selama 28 tahun kondisi ini dilalui Een. Peraih Special Awards Liputan 6 SCTV 2013 itu memberikan kuliah umum dengan penuh semangat, tanpa cucuran air mata.
Semua tertegun. Mendengar kata demi kata yang disampaikan guru yang memiliki 35 murid itu. Sosok inspiratif yang sudah bertemu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 5 Juni lalu di Kantor Presiden, Jakarta Pusat itu menyampaikan banyak pesan. Een memberikan kekuatan bagi mereka yang terpuruk, jatuh dan tak mampu lagi bersikap tegar.
"Waktu itu setelah divonis mati, dengan dikatakan usia saya tinggal seminggu lagi betapa hancurnya hidup saya. Betapa terpuruknya saya dalam kepedihan, sebenarnya saya ingin bangkit, tapi kondisi saya tidak memungkinkan," ungkap Een dengan mata terpejam.
Tetapi, Yang Maha Kuasa punya cerita lain. Seperti tidak ingin membiarkan Een terpuruk dalam derita. Perlahan-lahan, Een menerima murid. Mengajar dalam keterbatasan. Terkumpul sekitar 35 murid-murid kecil untuk belajar membaca, menulis, dan mengerjakan tugas sekolah.
"Alhamdulillah saya bersyukur. Dari situlah saya bangkit kembali. Dengan niat yang ikhlas, hanya mengaharap ridho Allah saya mencoba berbagi ilmu," tutur Een. "Saya sangat bersyukur, penderitaan yang bertubi-tubi menuntut saya untuk dapat menyikapinya dengan baik."
Tapi kuliah umum di ruangan Balai Pertemuan Umum Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, Jawa Barat, Jumat (7/6/2013) petang ini benar-benar luar biasa. Akibat materi kuliah umum itu, cucuran air mata terus mengalir dari para peserta di ruangan berkapasitas 400 orang yang sudah penuh sesak itu.
Mengapa mereka menangis? Mereka baru saja menyaksikan kuliah umum dari salah satu alumninya, Een Sukaesih. Een, guru penderita rheumatoid arthritis yang sudah pernah divonis mati, lebih dari memberikan materi kuliah umum.
Wanita alumni jurusan Psikologi Pendidikan dan Guru ini juga memberikan motivasi, inspirasi bagi mereka yang sehat dan masih bugar. Een yang hidup dalam keterbatasan itu dengan tanpa teks memberikan materi kuliah umum di hadapan rektor, guru besar, mahasiswa, dan para alumni.
Een tidak bisa berdiri tegak untuk memberikan kuliah umum. Dengan keterbatasannya itu, Een hanya mampu berbaring dan tak mampu bergerak. Selama 28 tahun kondisi ini dilalui Een. Peraih Special Awards Liputan 6 SCTV 2013 itu memberikan kuliah umum dengan penuh semangat, tanpa cucuran air mata.
Semua tertegun. Mendengar kata demi kata yang disampaikan guru yang memiliki 35 murid itu. Sosok inspiratif yang sudah bertemu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 5 Juni lalu di Kantor Presiden, Jakarta Pusat itu menyampaikan banyak pesan. Een memberikan kekuatan bagi mereka yang terpuruk, jatuh dan tak mampu lagi bersikap tegar.
"Waktu itu setelah divonis mati, dengan dikatakan usia saya tinggal seminggu lagi betapa hancurnya hidup saya. Betapa terpuruknya saya dalam kepedihan, sebenarnya saya ingin bangkit, tapi kondisi saya tidak memungkinkan," ungkap Een dengan mata terpejam.
Tetapi, Yang Maha Kuasa punya cerita lain. Seperti tidak ingin membiarkan Een terpuruk dalam derita. Perlahan-lahan, Een menerima murid. Mengajar dalam keterbatasan. Terkumpul sekitar 35 murid-murid kecil untuk belajar membaca, menulis, dan mengerjakan tugas sekolah.
"Alhamdulillah saya bersyukur. Dari situlah saya bangkit kembali. Dengan niat yang ikhlas, hanya mengaharap ridho Allah saya mencoba berbagi ilmu," tutur Een. "Saya sangat bersyukur, penderitaan yang bertubi-tubi menuntut saya untuk dapat menyikapinya dengan baik."
Sumber liputan6.com